GHIRAHBELAJAR.COM – Bertanya Makna Ghirah kepada Buya Hamka
Oleh: Ahmad Soleh (Founder GhirahBelajar)
Kita sering sekali mendengar kata ghirah digunakan, baik di media sosial, ceramah, maupun media massa. Kata ini sering digunakan dalam komunitas Muslim. Sebagian memaknainya biasa saja, tapi sebagian lagi memaknainya secara ekstrem. Lepas dari itu, mula-mula kita mesti bertanya, apa sih sebenarnya makna ghirah itu? Saya pun mencoba menelusuri makna ghirah. Salah satunya adalah ghirah dalam pandangan Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang merupakan seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.
Kata ghirah digunakan oleh Buya Hamka untuk judul bukunya yang berisi tentang penjelasan makna ghirah dalam konteks beragama, lebih khusus ber-Islam. Dalam buku bertajuk Ghirah; Cemburu Karena Allah itu, Buya Hamka yang merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini menjelaskan kepada kita mengenai makna 'ghirah' dengan suatu pengertian yang sederhana. Buya Hamka menyebutnya “cemburu”. Jawaban yang cukup singkat, bukan? Namun, cemburu yang seperti apa? Karena cemburu pun pada praktiknya berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain.
Ghirah, kata Buya Hamka, adalah kecemburuan dalam beragama. Cemburu di sini maknanya bukan sekadar marah, kesal, atau mangkel, melainkan perasaan tidak rela yang muncul dari dalam diri karena haknya direnggut. Dan dengan ghirah itu pula kemudian punya hasrat besar untuk merebut haknya kembali. Kalau tak ingin merebut kembali, kata Buya Hamka, bukan cemburu namanya.
Jadi, bisa kita tarik kesimpulan bahwa yang disebut dengan ghirah itu adalah perasaan memiliki, perasaan mencintai agama secara mendalam. Dengan perasaan itu kemudian terwujud dalam pembelaan yang kuat terhadap agama. Misalnya, dalam konteks Islam, ketika Islam dilecehkan atau dihina dengan beragam cara, kita akan merasa tersinggung dan mencoba untuk membela keyakinan yang dianut tersebut.
Dalam makna lain, yang saya tangkap dari penjelasan Buya Hamka adalah semangat, ruh, atau spirit dalam ber-Islam. Ibarat api, ghirah adalah hal yang mesti terus menyala untuk mengobarkan semangat keislaman seseorang. Barangkali kita juga bisa merefleksikan ketika Islam direduksi menjadi simbol atau identitas yang digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis yang tujuannya tidak sejalan dengan ruh, spirit, dan semangat Islam. Di sisi lain, hal itu merupakan wujud kecintaan terhadap Islam, tapi di sisi lainnya juga dalam hal itu ada yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Praktik money politic dan sistem pasar yang kapitalistik, misalnya.
Maka, dalam kondisi itu, kita juga mesti menjaga nilai-nilai, spirit dan ruh ber-Islam agar tidak keluar dari rel Al-Quran dan sunah.
Makna ghirah begitu mendalam bila kita refleksikan lagi. Karena dalam konteks kehidupan sosial, Islam menginginkan adanya kehidupan yang aman dan damai, tidak berperang atau saling membenci satu sama lain. Maka, sebuah cita-cita Islam yang amat tinggi nilainya yaitu menciptakan darussalam (negeri yang damai, aman dan tenteram) dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (subur, makmur, gemah ripah loh jinawi). Negeri yang tenteram, damai, dengan alam yang subur dan rakyatnya makmur adalah impian ideal sebuah negeri menurut ajaran Islam. Dan hal itu bisa terwujud ketika kita sebagai umat Muslim mampu menghidupkan ghirah dalam diri kita, lalu mengekspresikannya dengan positif. Menjalankan amar makruf dengan makruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang makruf. Menguatkan iman, mencintai ilmu dan pengetahuan, serta menampilkan akhlak yang mulia.
Kita sering sekali mendengar kata ghirah digunakan, baik di media sosial, ceramah, maupun media massa. Kata ini sering digunakan dalam komunitas Muslim. Sebagian memaknainya biasa saja, tapi sebagian lagi memaknainya secara ekstrem. Lepas dari itu, mula-mula kita mesti bertanya, apa sih sebenarnya makna ghirah itu? Saya pun mencoba menelusuri makna ghirah. Salah satunya adalah ghirah dalam pandangan Buya Hamka atau Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang merupakan seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia.
Kata ghirah digunakan oleh Buya Hamka untuk judul bukunya yang berisi tentang penjelasan makna ghirah dalam konteks beragama, lebih khusus ber-Islam. Dalam buku bertajuk Ghirah; Cemburu Karena Allah itu, Buya Hamka yang merupakan ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama ini menjelaskan kepada kita mengenai makna 'ghirah' dengan suatu pengertian yang sederhana. Buya Hamka menyebutnya “cemburu”. Jawaban yang cukup singkat, bukan? Namun, cemburu yang seperti apa? Karena cemburu pun pada praktiknya berbeda-beda antara orang yang satu dengan yang lain.
Ghirah, kata Buya Hamka, adalah kecemburuan dalam beragama. Cemburu di sini maknanya bukan sekadar marah, kesal, atau mangkel, melainkan perasaan tidak rela yang muncul dari dalam diri karena haknya direnggut. Dan dengan ghirah itu pula kemudian punya hasrat besar untuk merebut haknya kembali. Kalau tak ingin merebut kembali, kata Buya Hamka, bukan cemburu namanya.
Itulah sebabnya orang bilang; “cemburu adalah tanda cinta, dan tidak ada cinta tanpa rasa cemburu.”
Dalam makna lain, yang saya tangkap dari penjelasan Buya Hamka adalah semangat, ruh, atau spirit dalam ber-Islam. Ibarat api, ghirah adalah hal yang mesti terus menyala untuk mengobarkan semangat keislaman seseorang. Barangkali kita juga bisa merefleksikan ketika Islam direduksi menjadi simbol atau identitas yang digunakan untuk kepentingan politik dan bisnis yang tujuannya tidak sejalan dengan ruh, spirit, dan semangat Islam. Di sisi lain, hal itu merupakan wujud kecintaan terhadap Islam, tapi di sisi lainnya juga dalam hal itu ada yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Praktik money politic dan sistem pasar yang kapitalistik, misalnya.
Maka, dalam kondisi itu, kita juga mesti menjaga nilai-nilai, spirit dan ruh ber-Islam agar tidak keluar dari rel Al-Quran dan sunah.
“Maka, bagi Buya Hamka, ghirah itu seumpama nyawa bagi orang Muslim. Tanpa adanya ghirah itu, seorang Muslim seolah telah mati keislamannya.”
Setidaknya, itulah jawaban yang bisa saya temukan saat bertanya mengenai makna ghirah kepada Buya Hamka. Semoga bermanfaat. Wallahu alam.
1 Komentar
Buya hamka, nasehat beliau slalu penuh makna. Makasih tulisannya bang soleh. Mencerahkan banget
BalasHapus