GHIRAHBELAJAR.COM – Terciptanya harmoni atau ketenteraman sosial merupakan suatu hal yang diinginkan dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan masyarakat yang majemuk dan heterogen sangat rentan dengan terjadinya konflik, terkadang membuat perwujudan harmoni sosial itu tidak dapat terwujud dengan maksimal. Sehingga, pelbagai masalah membuat munculnya disintegrasi atau perpecahan sosial.
Maka, kita perlu melakukan integrasi sosial. Apa itu integrasi sosial? Integrasi sosial merupakan penyesuaian unsur-unsur dalam masyarakat yang beragam, majemuk, dan heterogen menjadi satu kesatuan. Gampangnya, integrasi sosial itu proses peleburan berbagai unsur dan latar belakang masyarakat, mulai dari ras, etnis, suku, bahasa, agama, budaya, sistem nilai, dan norma. Sehingga, integrasi dapat mewujudkan sebuah harmonisasi sosial. Yakni kehidupan sosial yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera.
Tentu saja, kondisi masyarakat yang heterogen, di dalamnya terdapat banyak perbedaan unsur sosial maupun budayanya. Sehingga, kehidupan masyarakat pun memiliki kompleksitas yang lebih rumit dibandingkan masyarakat yang homogen. Di tengah masyarakat yang heterogen, potensi terjadinya konflik pun besar. Sebab, di sana terdapat potensi pergesekan, pertentangan, perlawanan, dan perbedaan antara individu maupun kelompok dengan yang lainnya.
Pakar sosiologi William F Ogburn dan Mayer Nimkof berpendapat bahwa dalam mewujudkan integrasi sosial terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang pertama, yaitu tiap-tiap anggota masyarakat berhasil saling mengisi kebutuhan di antara mereka. Syarat kedua, yaitu masyarakat memiliki konsensus atau kesepakatan mengenai penerapan norma dan nilai sebagai pedoman hidup di lingkungan mereka. Syarat ketiga, yaitu norma-norma dan nilai sosial dapat berlaku dalam waktu lama, memiliki kekuatan, dan konsisten diterapkan seluruh anggota masyarakat.
Akulturasi dan Asimilasi
Sementara itu, proses integrasi sosial itu sendiri terdapat dua cara, yakni dengan asimilasi dan akulturasi. Apa itu asimilasi? Proses asimilasi merupakan proses sosial yang membutuhkan usaha keras dan sungguh-sungguh untuk mengikis perbedaan yang terdapat pada individu ataupun kelompok yang hidup dalam sebuah komunitas masyarakat. Asimilasi dapat ditandai dengan berkembangnya sikap yang sama di antara anggota masyarakat untuk tujuan mencapai suatu kesatuan (integrasi) sosial. Suatu tatanan masyarakat yang harmonis, rukun, tenteram, sejahtera, dan damai.
Sementara akulturasi, menurut antropolog Indonesia, Koentjaraningrat, merupakan proses bertemunya kelompok sosial dengan kebudayaan tertentu dengan kebudayaan asing atau kebudayaan lainnya yang secara umum memiliki perbedaan dengan budaya yang dimilikinya. Proses akulturasi dapat berlangsung dalam waktu lama, hingga unsur kebudayaan yang dianggap asing atau kebudayaan dari luar tersebut dapat diterima oleh masyarakat, bahkan diadopsi dan dikembangkan menjadi kebudayaan sendiri. Proses akulturasi secara mudah bisa kita pahami dengan proses meleburnya suatu budaya dengan budaya lainnya, budaya asli dengan budaya asing.
Dalam kehidupan masyarakat yang heterogen, potensi konflik memang tak bisa dihindarkan. Bahkan, tak jarang adanya konflik, apalagi bila sudah mencakup isu sensitif, dapat menciptakan perpecahan atau disintegrasi sosial. Akibatnya adalah saling bentrok, saling serang, baku hantam, hingga puncaknya bisa terjadi bentrokan fisik. Untuk itulah kita perlu melakukan perekatan ulang terhadap pihak-pihak masyarakat yang berseteru.
Proses ini disebut dengan istilah reintegrasi sosial. Reintegrasi sosial merupakan upaya membangun kembali kepercayaan, kepedulian, kebersamaan, kekeluargaan, dan keserasian sosial dalam suatu tatanan masyarakat. Tentu saja, reintegrasi memiliki tujuan yang sangat baik, yakni agar masyarakat dapat kembali merekat. Tujuan akhirnya tentu saja masyarakat dapat hidup dalam suasana harmoni sosial, yang rukun, sejahtera, aman, dan damai.
Kekerasan dan Perpecahan Sosial
Konflik yang berujung pada tindak kekerasan dapat menimbulkan masalah yang lebih rumit dan serius. Tak jarang, peristiwa kekerasan dan baku hantam di antara kelompok masyarakat terjadi dan mengorbankan nyawa sebagai taruhannya. Hal itu terjari karena adanya perbedaan, pertentangan, perlawanan, pergesekan, dan benturan yang tidak menemui titik damai. Konflik kekerasan inilah yang memicu terjadinya integrasi sosial.
Sehingga dalam kehidupan masyarakat tak ada lagi kepercayaan antara satu kelompok/individu dengan kelompok/individu lain. Di sisi lain, rasa solidaritas sosial, empati dan sikap toleransi pun akan makin terkikis. Terang saja, hal ini amat buruk bagi kehidupan sosial. Di mana manusia sebagai makhluk sosial semestinya dapat saling memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain, dapat hidup rukun, menciptakan suasana kekeluargaan. Bukan sebaliknya.
Dengan begitu, upaya menyelesaikan konflik sosial menjadi tanggung jawab segenap anggota masyarakat. Dengan begitulah kita dapat mengupayakan terciptanya perdamaian dan integrasi atau kohesi sosial. Pemerintah dan aparat yang berwenang mesti memegang peran struktural dalam meredam konflik sosial. Di sisi lain, kehidupan masyarakat Indonesia biasanya ada tokoh masyarakat, tetua adat, sesepuh, yang dapat memainkan peran menjadi penengah tatkala terjadi konflik sosial.
Dan tentu, yang terpenting adalah anggota masyarakat itu sendiri mesti memiliki pemahaman yang tepat soal tujuan kehidupan sosial yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera. Tidak hanya mementingkan ego sendiri ataupun ego primordial dan kelompok. Semua harus bahu membahu mewujudkan harmoni sosial.
*Konten ini dibuat oleh Tim GhirahBelajar
0 Komentar