GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Ardi Alfaris
Di sela-sela antusias masyarakat terhadap film keluran baru Marvel, Spiderman: No Way Home dan Teka-Teki Tika karya Ernest Prakasa ada satu film yang cukup menyita perhatian, Yuni. Yuni bukan sebuah film heroik ataupun komedi, tetapi film yang menggambarkan situasi masyarakat kita hari ini dari sudut pandang seorang perempuan yang sedang bersiap lulus sekolah Madrasah Aliyah dengan segala kompleksitas kehidupan remajanya.
Film berdurasi 122 menit ini disutradarai oleh Kamila Andini, yang sebelumnya sudah berpengalaman dengan film bertema perempuan dan budaya. Sebelum Yuni, kamila Andini pernah menyutradarai The Mirror Never Lies (2011), Sendiri Diana Sendiri (2015), Sekar (2018) dan Sekala Niskala (2017).
Cerita bermula saat Yuni (Arawinda Kirana) siswi terpintar tingkat XII di sekolah punya cita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dibantu oleh Bu Lilis (Marissa Anita) sebagai wali kelas, Bu Lilis sering memberikan arahan untuk yuni bisa melanjutkan pendidikan. Yuni tinggal bersama neneknya di sekitaran Banten dengan nuansa jawa banten yang sangat kental. sementara Ayah dan Ibu Yuni bekerja ke Jakarta. Hingga Yuni dilamar oleh seseorang yang tidak dikenal berasal dari keluarga tetangganya, dengan terpaksa yuni menolak lamaran tersebut dan mulailah Yuni menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya. Film yuni memuat secara spesifik kritik sosial terhadap masyarakat khususnya stigma terhadap perempuan.
Lingkungan Masyarakat Toxic
Kita seringkali tanpa sadar hidup di tengah lingkungan yang tidak sehat. Mulai dari saudara, teman, atau tetangga sekalipun tidak jarang ikut campur dan acap kali menjustifikasi setiap keputusan-keputusan pribadi yang dibuat. Seperti yang dialami oleh Yuni, ketika ia menolak lamaran pertama yang datang karena ia tidak mengenal sama sekali pria tersebut. Terlebih lagi, pria tersebut datang dari tempat yang lumayan jauh, Semarang dan bekerja sebagai buruh di salah satu perusahaan.
Berangkat dari kejadian tersebut, Yuni menjadi perbincangan warga. Mitos seret jodoh mulai dilontarkan pada Yuni. Bukan hanya kutukan seret jodoh semata, orang-orang menilai Yuni kurang bersyukur dengan menolak lamaran tersebut.
Fragmen-fragmen pada bagian ini menunjukkan pola pikir masyarakat kita masih belum bisa menilai suatu fenomena sosial dengan objektif. Pandangan dan penilaian subjektif ini karena orang-orang di sekitar Yuni tidak mengetahui pertimbangan apa yang dipikirkan sehingga mengambil suatu keputusan. Padahal di lingkungan yang sama, ada banyak perempuan yang harus menjanda, dan merawat anak seorang diri atau sekadar berjuang untuk tetap hidup setelah menikah karena suaminya tidak bertanggung jawab.
Pernikahan dini
Selain masyarakat yang sering ikut campur, hal unik selanjutnya adalah pernikahan dini yang sudah dianggap wajar. Hal ini bisa dilihat dari salah satu fragmen dimana Yuni dan kawan-kawan menjenguk salah satu temannya yang baru saja melahirkan. Dengan usia belia yang seharusnya masih ikut belajar di bangku sekolah, ia sudah harus melahirkan jiwa ke dunia. Tidak sampai disitu, suaminya justru tidak tinggal untuk ikut mengurus istri dan anaknya yang baru lahir. Ia malah kembali ke rumah orang tuanya sementara Teman Yuni ini tidak diperbolehkan ikut ke rumah mertuanya dengan alasan merepotkan karena sudah banyak anggota keluarga dalam satu rumah.
Hal ini ini juga langsung dibuktikan dengan datangnya pelamar kedua ke rumah Yuni. Seorang lelaki paruh baya dengan satu istri meminta Yuni yang masih bersekolah untuk jadi istri kedua. Dengan dalih sudah mendapat ijin dari istri pertama, ia juga membawa uang awalan dengan jumlah yang tidak kecil, dua puluh lima juta rupiah.
Pernikahan transaksional
Uang sebesar dua puluh lima juta itu hanya sebagai awalan mahar karena Yuni dinilai masih muda. Jumlah itu akan ditambah lagi apabila setelah akad dilaksanakan dan saat malam pertama Yuni masih perawan. Dua hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan syarat sah menikah.
Usia muda Yuni yang belum genap 17 tahun tersebut dihargai mahar besar, padahal secara biologis perempuan diusia itu belum siap untuk menikah terutama untuk mengandung. Badan kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menganjurkan usia menikah adalah 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki. Kita tidak akan membahas poin poligami. Melainkan siapa yang bisa memastikan seorang perempuan masih perawan atau tidak, kecuali dari kejujuran perempuan itu sendiri. Ini juga menunjukkan bahwa banyak laki-laki masih sangat merasa superior dan memandang perempuan dapat melakukan apa yang ia mau dengan uang.
Stereotip darah malam pertama menandakan ia masih perawan dan belum pernah berhubungan seks adalah kekeliruan turun-temurun. Sobeknya selaput dara yang selama ini dijadikan patokan keperawanan, sebenarnya bisa sobek karena hal-hal yang insidental seperti olahraga berkuda dan bersepeda atau melakukan peregangan terlalu kuat. Bisa juga karena sebab lain seperti olahraga atau penggunaan alat medis pada vagina. Selain itu sifat selaput dara yang elastis dan ukurannya yang beragam pada setiap perempuan mebuat beberapa kasus malam pertama tidak terjadi pendarahan.
Buta edukasi seksual
Mitos-mitos dan stereotip yang tersebar di masyarakat baik yang ditampilkan dalam film, sebenarnya karena minimnya edukasi seksual yang didapat. Mayoritas masyarakat menganggap edukasi seksual masih bersifat tabu dan tidak bisa dibicarakan dimuka umum. Di sisi lain, anggapan-anggapan yang salah tentang aktivitas seksual terus diturunkan dari mulut ke mulut. Lama-kelamaan lahirlah miskonsepsi tentang seks dan terjadilah banyak hal-hal negatif oleh masyarakat itu sendiri.
Padahal dengan kemajuan teknologi informasi, mayarakat dapat lebih mudah mengakes media-media belajar, tidak terkecuali tentang eduuasi seksual. Namun, hal yang harus dipersiapkan selain rasa ingin tahu adalah keterbukaan pemikiran terhadap pengetahuan baru. Sehingga dogma keliru dapat diputus dan generasi baru memiliki pemahaman lebih baik.
Stigma, Streotip dan Mitos
Hal lain yang bisa kita dapatkan dari kisah Yuni adalah betapa kencang dan suburnya Stigma dan Streotip masyarakat terhadap perempuan. Anggapan perempuan hanya akan mengurus sumur, dapur, kasur sehingga tidak perlu pendidikan tinggi. Perempuan tidak boleh pulang malam, perempuan tidak bisa bekerja, perempuan harus manut, perempuan tidak bisa menentukan pilihan, perempuan adalah makmum, dan masih banyak lagi.
Ini belum termasuk mitos yang berkembang seperti duduk di depan pintu bisa buat susah jodoh, menyapu malam hari seret rejeki, menyapu tidak bersih akan dapat suami bewok, potong kuku malam hari berumur pendek dan lainnya. Padahal setiap mitos belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya.
Tentu sudah waktunya setiap perempuan bisa menentukan pilihannya sendiri selama tidak keluar dari koridor agama dan hukum. Baik itu untuk bekerja atau jadi ibu rumah tangga, baik jadi guru mengaji di kampung atau jadi dosen di universitas, ikut arisan atau bergabung partai politik. Selama itu semua bertujuan mengangkat nilai dan harga diri perempuan itu sendiri.
Keluarga yang Supportif
Dibalik banyaknya ketimpangan sosial dalam cerita, ada hal yang membuat hati penonton cukup terenyuh. Percakapan-percakapan Yuni denga Ibunya setiap menghadapi masalah adalah hal yang tidak semua anak bisa dapatkan. Hal lain yang lebih langka lagi, orang tua yuni tidak mengintervensi Yuni untuk setiap keputusan yang diambil, baik Ibu maupun Ayah Yuni juga selalu menguatkan Yuni untuk setiap keputusan yang Yuni ambil. Menejelang akhir cerita, sang ayah mengatakan bahwa tidak ada hidup yang tidak sulit, semua harus diperjuangkan dan ia akan tetap ada disana untuk membantu Yuni.
Di akhir film, Walau dengan kesan keterpaksaan Yuni akhirnya menerima lamaran ketiga yang datang dari guru favoritnya di sekolah. Sosok ibu Yuni masih setia menemani juga mendukung dengan bertanya tentang keyakinan Yuni. Betapa figur keluarga yang jarang kita temui karena banyaknya orang tua yang memposisikan diri sebagai atasan sehingga tidak membuka ruang diskusi untuk anaknya yang mulai beranjak dewasa.
Yuni adalah film yang sangat unik, berani mengangkat isu perempuan dengan sudut pandang masyarakat kelas bawah yang kompleks. Dikemas secara apik dengan menyajikan puisi-puisi almarhum Sapardi Joko Damono. Kita berharap film-film berunsur edukasi lebih banyak diproduksi, dan ke depan kita semua berharap sinematografi Indonesia kembali ke masa kejayaannya.
0 Komentar