GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Indar Cahyanto*
Gegap gempita perjalanan sebuah demokrasi di Indonesia yang terbangun sejak Proklamasi kemerdekan 17 Agustus 1945 memiliki warna tersendiri bagi perjalanan bangsa ini. Ruang yang panjang dalam catatan demokrasi di negri tak terlepas dari pengaruh orang-orang yang membuat kebijakan penting di negri. Ataupun warna dari gagasan dan partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Perjalanan 76 tahun terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan telah dinikmati secara bersama seluruh rakyat Indonesia berupa nikmat kemerdekaan dan kebebasan, Begitu juga gagasan dan ide dalam membangun demokrasi pada awal kemerdekaan. Kita masih ingat dalam lintasan sejarah panjang ketika terbentuknya pemerintahan baru melalui sidang PPKI yang menghasilkan keputusan terbentuknya pemerintahan baru mulai dari eksekutif dengan Seokarno-Hatta presiden dan wapres, legestaif dengan KNIP, dan terbentuk Mahmakah Agung.
Pada awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia mengeluarkan tiga maklumat penting dalam menjalankan pemerintahan yakni. Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945, yang berisi ketetapan KNIP yang diubah menjadi lembaga legislatif. Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945, yang berisi mengenai pembentukan partai-partai politik di Indonesia. Dan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, yang berisi mengenai perubahan sistem pemerintahan Indonesia dari sistem presidensial ke sistem demokrasi parlementer.
Baca Juga: DPR Bukan Deretan Pemerhati Rakyat
Kemudian ketika masa konflik Indonesia dengan Belanda dengan melakukan serangkain perundingan seperti Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville, dan Perjanjian Roem-Royen dan terakhir ketika Konferensi Meja Bundar. Corak perubahan sistem pemerintahan pun berubah kala itu dengan corak pemerintahan RIS karena berdasarkan kesepakatan KMB. Pemerintahan RIS dengan sistem Negara bagian dalam menjalankan pemerintahan.
Setelah itu sejak 17 Agustus 1950 ketika pemerintahan RIS bubar dan kembali ke dalam Negara Republik Indonesia karena rasa ketidakpuasan dari berbagai wilayah Negara bagian. Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan penandatanganan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950) sebagai pengganti UUD RIS. Pada masa ini Indonesia menjalankan demokrasi liberal yang didalamnya menjalankan sistem parlementer. Di Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menyatakan lembaga eksekutif atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari.
Perjalanan politik dan demokrasi liberal parlementer tidak terlalu lama karena banyaknya pergantian perdana mentri, perbedaan ideologi dari partai yang mengusung jalannya system pemerintahan dan masalah dalam negeri dengan peristiwa yang dapat menyebabkan perpecahan disintegrasi bangsa seperti peristiwa DI/TII, Permesta, PRRI, RMS, PKI Madiun dan lainnya.
Baca Juga: Konflik Sosial Masyarakat Kampung dan Masyarakat Kompleks Elite
Kemudian terjadinya peristiwa dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri dari era demokrasi terpimpin adalah dominasi presiden yang menguat, berkembangnya pengaruh komunisme, dan masuknya militer sebagai unsur sosial-politik. Dekrit Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional, karena dapat mempertahankan kedudukan pemerintah setidaknya selama lima tahun, namun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu berubah saat dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan MPR itu sekaligus melangkahi batasan kedudukan seorang presiden dan menjadikan Soekarno sebagai seorang diktator. Hal ini menjadi salah satu bentuk penyelewengan konstitusi dan demokrasi pada era demokrasi terpimpin.
Bergantinya corak demokrasi ditentukan oleh elit politik, tokoh yang mempengaruhi perjalanan demokrasi di Indonesia. Rakyat sebagai konfigurasi utama dalam konsep demokrasi hanya diam saja mengikuti irama perjalanan politik yang dilakukan oleh peranan pemerintah dan elit politik. Serta ada beberapa peranan dari kaum intelektual yakni mahasiswa dalam mempengaruhi jalannya peristiwa politik dan demokrasi di Indonesia. Yakni peristiwa tahun 1966 pemerintah Presiden Soekarno pada masa Orde Lama berganti dengan masa Orde Baru di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto. Kemudian Peristiwa 1998 bergantinya kekeuasaan pemerintahan Orde Baru ke tangan pemerintahan Orde Reformasi.
Perjalanan politik dan demokrasi setelah turunnya kekuasaan Orde Lama dibawah Presiden Soekarno diganti dengan istilah Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto. Orde Baru yang lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. Tujuannya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Pelaksanaan pemerintahan Orde Baru pada awalnya sesuai dengan harapan dan sesuai dengan pelaksanaan UUD 1945. Sehingga pada fase awal Orde Baru keberhasilan pemerintah dalam membangun Indonesia patut diberikan penghargaan.
Berdasarkan Encyclopaedia Britannica (2015), pada masa Orde Baru ini pemerintah menekankan pada adanya stabilitas nasional baik dalam program politiknya dan juga rehabilitas ekonomi yang ada, serta berkepribadian dan juga fokus pada bidang sosial budaya. Di masa orde baru ini, sistem pemerintahannya masih menggunakan presidensial dimana keputusan eksekutif ada ditangan presiden serta memiliki bentuk pemerintah yaitu republik. Dasar konstitusi dari negara Indonesia adalah UUD 1945.
Baca Juga: Bagaimana Menyelesaikan Konflik Sosial?
Pelaksaan demokrasi pada masa Orde Baru selama 32 tahun terjadi penguatan pemerintahan yang didukung oleh militer dan ABRI, terbatasnya pilihan politik dimana hanya 3 partai politik diperbolehkan mengikuti kegiatan PEMILU, pemerintahan yang sentralistik dalam pengambil dan pengendali kebijakan politik dan ekonomi, dan pembangunan yang masif dalam pemerintahan Orde Baru.
Selama 32 tahun berkuasa kemajuan dalam demokrasi dan pembangunan di Indonesia. Dimana seperti yang dapat dilihat dari hasilnya, inflasi menurun dan mata uang Indonesia menjadi lebih stabil. Namun, walaupun mengalami perkembangan tersebut, kekuasaan dari seluruh pemerintahan pada saat itu ada di tangan presiden seutuhnya dengan kekuasaan yang sentralistik. Hal itu yang menyebabkan runtuhnya era Orde Baru dikarenakan adanya krisis moneter di tahun 1997. Setelah adanya krisis tersebut, kondisi ekonomi negara Indonesia semakin memburuk, dan hal ini bukan hanya dialami Indonesia saja namun juga berbagai negara lain. Kondisi yang terjadi pada saat itu membuat korupsi, kolusi, serta nepotisme atau KKN menjadi semakin tinggi dan angka kemiskinan juga meningkat.
Reformasi terjadi pada tahun 1998, yaitu masa peralihan dari orde baru (pemerintahan soeharto) ke masa selanjutnya. Maksud dan tujuan diadakannya reformasi adalah: Pertama, Menuntut turunnnya harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak tinggi sejak Juli 1997. Kedua, Menuntut MPR untuk tidak kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden untuk periode ketujuh. Ketiga, Menjelang lengsernya Soeharto, para pejabat melakukan perjanjian simbolik dan beberapa langkah kebijakan ekonomi guna untuk mencoba mengatasi keadaan dan mempertahankan kekuasaan (buying time).
Kekusaan Orde Baru yang digantikan dengan kekuasaan Orde Reformasi merupakan bagian sejarah perjalanan pemerintah di Indonesia. Penguatan identitas kekuasaan yang single majority terjadinya penyimpangan terhadap UUD 1945 dan Pancasila kembali dilakukan oleh pemerintah Orde Baru yang kemudian menimbulkan demontrasi mahasiswa seperti pada tahun 1966. Demonstrasi mahasiswa yang kemudian menjadi sebuah tragedi Trisakti. Peristiwa yang terjadi pada 12 Mei 1998, di mana empat mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya tertembak ditangan aparat dan hingga tewas. Mereka yang tewas para mahasiswa Triksakti itu adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie.
Baca Juga: Memahami Makna Toleransi dalam Bermasyarakat
Bergantinya kekuasaan dan demokrasi pada masa era Orde Reformasi memberikan tujuan dalam menata hubungan bernegara yaitu. Pertama, dengan adanya masa reformasi digunakan untuk menata kembali segala struktur pemerintahan dan kenegaraan, termasuk di dalamnya yaitu perundang-undangan serta konstitusi yang menyimpang dari tujuan yang ingin dicapai serta cita-cita yang diharapkan seluruh masyarakat Indonesia.
Kedua, dengan adanya masa reformasi diharapkan melakukan perubahan serius serta bertahap dalam menemukan berbagai nilai baru dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan juga bernegara. Ketiga, dengan adanya masa reformasi diharapkan adanya perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan yaitu politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Keempat, dengan adanya masa reformasi diharapkan dapat menghapus dan menghilangkan berbagai kebiasaan dan cara hidup masyarakat Indonesia yang tidak sesuai dengan hukum yang ada, seperti KKN, kekuasaan yang otoriter, segala penyimpangan yang terjadi dan penyelewengan oleh oknum tidak bertanggung jawab.
Saat sudah 24 tahun perjalanan demokrasi di era reformasi yang dilakukan di Indonesia. Sudah 5 orang presiden yang menjabat dan berkuasa dari masa pemerintahan BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo. Karakter kepeminpinan politik mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru. Dengan falsafah kebebasan berekpresi, berpendapat, berpartisipasi dalam kehidupan politik turut mewarnai demokrasi di Indonesia.
Gerakan sosial pun tumbuh melalui dengan munculnya partai politik baru, gerakan LSM, serta gerakan social kemasyarakatan melalui media massa juga tumbuh subur. Tingkat partisipasi kebebasan berekspresi masyarakat kian terbuka dengan munculnya ragam media social yang berkembang di Indonesia. Kemudian dalam kehidupan ekonomi mengalami fluktuasi dan tekanan ekonomi yang datang dari Luar negri. TNI dan Polri sudah terpisah berdiri sendiri dari yang dulu bergabung dengan ABRI.
Baca Juga: Konsep Pembangunan Nasional Berkeadilan
Menguatnya peran social politik masyarakat pada masa Reformasi memberikan imbas dan warna konflik horizontal dalam kehidupan politik dan kebangsaan. Demonstrasi dan penyampaian pendapat di muka umum juga diakomodir sebagai bagian proses demokrasi. Kebebasan yang sangat massif dalam kehidupan social masyrakat memiliki imbas adanya konflik kepentingan dari orang dan kelompok orang. Kebebasan berekpresi terlihat dari media social yang turut mewarnai kehidupan kebangsaan. Di dalam media social ragam orang menyampaikan pendapat pun juga bermacam ragam.
Pada Fase sejarah muncul dikotomi politik yang dikemukakan oleh Clifford Geertz menemukan tiga varian khas Muslim Jawa. Trikotomi ini, dikenal sebagai santri, priyayi, dan abangan, bukan hanya mencerminkan struktur religius-kultural, melainkan juga menjelaskan komposisi politik dan ekonomi. Santri adalah kelompok Muslim yang secara ketat menjalankan ajaran agama. Abangan adalah kelompok Muslim yang tidak terlalu peduli pada praktik formal agama (Luthfi Assyaukanie; 2011).
Proses varian itu juga muncul ketika awal masa reformasi Pertama, “Muslim pribumi”, yang dianut secara eksklusif Muslim abangan. Secara politik, kelompok ini mendukung Megawati Soekarnoputri dan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Kedua, “Muslim tradisional”, yang terutama mencakup anggota-anggota Nahdlatul Ulama. Secara politis, mereka mendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), reinkarnasi Partai NU lama. Ketiga “modernis Islam”, yang secara politis berafiliasi dengan Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), dan Partai Amanat Nasional (PAN) ( Luthfi Assyaukanie; 2011).
Baca Juga: Anak Muda adalah Kekuatan Besar Bangsa Indonesia
Ketika pergulatan partai politik mengalami perpecahan dan timbulnya partai baru-baru dalam perjalanannya maka varian itu sedikit mengubah peta perpolitikan di tanah air. Penguatan politik identitas dalam partisipasi politik di tanah air pun muncul dengan berbagai segmen dan kegiatan. Kemudian muncul juga varian baru setelah pilkada DKI dan Pemilu 2014 kemarin Yang pertama menganut apa yang dia sebut “masyarakat sipil yang kontra rezim” dan yang lain “Masyarakat sipil yang pro rezim”. Dan varian itu muncul dengan istilah cebong, kampret dan kadrun
Ada istilah yang mempengaruhi persaingan dalam media sosial Istilah 'kadrun' berkembang setelah munculnya istilah 'kampret'. Tendensinya sama saja, yakni digunakan untuk mengolok-olok kubu politik yang berseberangan. Cebong atau cebonger adalah sebuah julukan terhadap para pendukung Joko Widodo. Sebutan tersebut populer pada Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014 dan Pemilihan umum Presiden Indonesia 2019. Terdapat dua versi mengenai asal usul dari sebutan tersebut. Versi pertama menyebutkan bahwa sebutan tersebut bermula dari kabar bahwa Jokowi gemar memelihara kodok (anak kodok disebut kecebong) saat masih menjadi Gubernur Jakarta. Lawan dari "cebong" adalah "kampret", sebuah julukan dari para pendukung Prabowo Subianto.
Istilah kadrun (singkatan dari kadal gurun) adalah sebuah julukan yang ditujukan kepada orang-orang yang dianggap berpikiran sempit, terutama yang dipengaruhi oleh gerakan ekstremisme dan fundamentalisme dari Timur Tengah, untuk menstigma pihak yang dicap radikal. Sejak 13 September 2019, tren pengucapan kadrun mengalahkan tren volume penyebutan cebong dan kampret. "Kadal gurun" kemungkinan mengacu pada dhab, sejenis kadal yang umumnya tersebar di gurun-gurun Timur Tengah.
Baca Juga: Prinsip Pareto bagi Anak Muda di Masa Pandemi
Versi masyarakat sipil yang mendukung pemerintah dikenal istilah cebong dan buzzer artinya mereka kelompok ini selalu setia mengawal pemerintah Joko Widodo dengan narasi yang dibangun dalam media sosialnya. Ketika kelompok diluar mereka mengkritisi pemerintah Joko Widodo maka dengan spontan menghantam kelompok yang mengkritisi tersebut. Kemudian ada kelompok yang menyebut Kadrun yang memang dianggap berseberang dengan pemerintah saat ini. Rivalitas dalam bermedia social pun sangat terasa dengan istilah cebong dan kadrun. Aroma perpecahan dalam giat kehidupan kental dalam mensikapi keadaan kebangsaan yang ada.
Aroma demokrasi pada saat ini banyak pernak-pernik yang saling beropini baik kelompok yang pro pemerintah maupun kelompok yang diluar pemerintah. Kalau dilihat dari sisi literasi maka timbulnya pro dan kontra memang wajar tapi persoalannya kadang tidak adanya data, analisis, yang mendukung ke arah kebenaran yang hakiki. Saling memperebutkan wacana yang kadang membuat pusing masyarakat kalangan bawah.
Warna lain pada saat ini adalah ketika ada diksi yang salah ucap maka komentar luar biasa dari para pegiat social baik dari kolompok pro maupun kontra. Trending dan menjadi viral dalam konten media social yang begitu dasyatnya mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai contoh ketika ada demontrasi mahasiswa kemarin tanggal 11 April mendadak viral setelah terjadi pemukulan salah satu pegiat sosial dan dosen Universitas Indonesia Ade Armando. Ataupun masalah wayang yang disinggung oleh Ust Khalid Basalamah, kemudian masalah pembatasan masalah azan dan lain sebagainya.
Baca Juga: Konten Medsos dan Dampak Sosialnya
Catatan demokrasi yang mewarnai kehidupan kebangsaan yang berbhineka tunggal ika dibutuhkan rasa toleransi dan menghormati. Paling penting adalah diam untuk tidak berbicara ketika kita tak paham dengan suatu persoalan yang ada. Kemudian membangun dialog dan komunikasi yang dua arah yang saling asah, asih dan asuh.
Biodata: Indar Cahyanto merupakan Guru Sejarah dan Pengurus APKS PGRI Provinsi DKI Jakarta.
0 Komentar