GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Alpin Jarkasi Husein Harahap, S.Kom
Dalam perjalanannya, bangsa Indonesia kerap kali sejalan dengan kesenjangan dan ketimpangan yang berarti. Kesenjangan tersebut seiring deretan problem akut yang terjadi pada kehidupan warga bangsa. Misalnya, muatan UUD Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 33 ayat (3) berbunyi “Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”, tetapi pada implementasi kebijakannya justru kekayaan yang terkandung di dalamnya (SDA) hanya dimiliki oleh segelintir orang, dan menyedihkannya, hasil (keuntungan) tersebut dibawa keluar negeri, dalam artian bahwa kehidupan warga bangsa belum bergeser dari penjajahan (ditindas dan terhisap).
Sangat terburu-buru untuk mengatakan cita-cita kemerdekaan yang termaktub pada alinea keempat (4) pembukan UUD 1945 tidak berbanding lurus dengan penerapan peraturan dan kebijakan program yang dibuat (not connect). Maybe, peristiwa tersebut mempengaruhi penalaran berpikir masyarakat bangsa, bahkan kemudian menjadi anekdot hingga berbekas pada stigma masyarakat.
Anekdot tersebut berbunyi: “Buat apa sekolah? Tohh… teori yang kamu pelajari di sekolah (Pendidikan Tinggi) tidak bisa diguna pakai pada saat kerja”. Yeah, daripada sebatas sekolah nggak ada untungnya, ruginya banyak! Hehehe, kata sebagian anak negeri. Hal tersebut mensinyalir bahwa orientasi kemerdekaan telah mengalami deviasi bahkan distorsi. Bagaimana mewujudkan masyarakat warga bangsa yang cerdas, menciptakan ketentraman, damai dan bahagia bila dispritas dan ketimpangan begitu menganga pada garis besar tujuan negara?
Baca Juga: Konflik Sosial Masyarakat Kampung dengan Masyarakat Kompleks Elite
Fenomena di atas memengaruhi suasana batin warga bangsa. sehingga muncul berbagai problem yang tidak sederhana. Anehnya, bahwa masalah yang terjadi (tidak sederhana) justru tidak menjadi sorot perhatian para wakil rakyat. Sekelompok wakil rakyat tersebut justru bertengkar demi sensasi hingga popularitas. misalnya, isu tentang wacana perpanjangan masa jabatan dan atau tiga periode (Kompas.com: "Soal Usulan Jabatan Tiga Periode, Jokowi: Kita Harus Taat Konstitusi") Wakil rakyat (DPR) sibuk perang “urat leher” antar sesama politisi, membangun koalisi dengan intelektual tukang demi mendapatkan atensi dari publik (popularitas).
Sementara masyarakat kesulitan akibat harga minyak goreng melambung tinggi (Kompas.tv: Harga Minyak Goreng Melambung Tinggi di Pasaran), masyarakat kesusahan akibat harga bahan bakar minyak (BBM) naik sempurna (Cnbcindonesia.com, "Pertamax Resmi Naik, Ini Daftar Harga BBM Pertamina di April"), sementara masyarakat kelaparan akibat harga pangan kebutuhan pokok naik (Cnnindonesia.com: "Emak-emak Menjerit Harga Bahan Pokok Naik Jelang Masuk Ramadan 2022").
Peristiwa yang terjadi pekan belakangan ini, sunyi komentar hingga kritik dari wakil rakyat sebagai bentuk penegasan keberpihakan terhadap yang sedang dirasakan dan dialami oleh rakyat! yang pada hakitkanya sebagai tuan-nya. “Bisa jadi”, pertimbangan koalisi dan takut hilang kursi, hehehe.
Penegakan hukum pun demikian, satu diantaranya, vonis bebas Dosen UNRI terduga pelaku kekerasan seksual (News.detik.com: "Pecah Tangis Mahasiswi Sebab Kecewa Vonis Bebas Dosen UNRI") oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. Kepastiaan hukum saat ini mengalami degradasi value. Tuna pri kemanusiaan, tunaspiritual, tunaetis, tunaestetis, tunasusila, tuna proporsional hingga tunakeadilan menjadi penyakit yang sedang diadopsi oleh beberapa mereka yang bercokol di lembaga yudikatif.
Peristiwa yang terjadi pekan belakangan ini, sunyi komentar hingga kritik dari wakil rakyat sebagai bentuk penegasan keberpihakan terhadap yang sedang dirasakan dan dialami oleh rakyat! yang pada hakitkanya sebagai tuan-nya. “Bisa jadi”, pertimbangan koalisi dan takut hilang kursi, hehehe.
Penegakan hukum pun demikian, satu diantaranya, vonis bebas Dosen UNRI terduga pelaku kekerasan seksual (News.detik.com: "Pecah Tangis Mahasiswi Sebab Kecewa Vonis Bebas Dosen UNRI") oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru. Kepastiaan hukum saat ini mengalami degradasi value. Tuna pri kemanusiaan, tunaspiritual, tunaetis, tunaestetis, tunasusila, tuna proporsional hingga tunakeadilan menjadi penyakit yang sedang diadopsi oleh beberapa mereka yang bercokol di lembaga yudikatif.
Baca Juga: Salam Unjuk Rasa
Muncul anekdot untuk tidak mengatakan trauma akibat praktek hukum demikian, yakni: “tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Bagaimana tidak? Dasar vonis bebas dosen terduga pelaku kekerasan seksual dibatalkan karena kekurangan bukti. Aneh, “kalau di tempat ramai namanya kuliah umum pak hakim". Seharusnya perlakuan penanganan terhadap terduga korban pelecehan seksual harus memuat azas perpektif korban. Demikianlah hasil verifikasi faktual dilapangan, dan ketika ditanyakan kepada wakil rakyat, mereka pasti menjawab, "kita hormati proses hukum yang masih berjalan”. Mungkin maksudnya menunggu fatwa dari ketua partai.
Fenomena sosial crazy rich, jagat media sosial diberitakan dengan penetapan tersangka dua anak muda yang melakukan kejahatan penipuan publik (judi online) berkedok binary option dan pencucian uang. Kejahatan tersebut dilakukan dengan cerdas hingga menghipnotis mata publik dengan metode marketing flexing. Dua orang tersebut yaitu: Doni Salmanan crazy rich dari Bandung, dan Indra Kenz dari Medan. Keduanya kini telah mendekam di penjara dengan ancaman 20 tahun penjara. (Bisnis.com: Indra Kenz dan Doni Salmanan Ditahan). Wow… Lama Bangets… “mengutip candaan Indra Kenz, “Wow… Murah Bengetss…”.
Celakanya, para public figure tidak sedikit juga politisi turut serta numpang pansos (panjat sosial) sebagai upaya meningkatkan citra politiknya. Lalu kemudian pertanyaannya adalah: Bagaimana implementasi controlling dan pengawasan yang dilakukan oleh parlemen terhadap eksekutif dan yudikatif?
Baca Juga: Balada Para Pembual
Peristiwa dan fenomena di atas harus di titik beratkan pada parlemen (wakil rakyat) sebagai biang dari kekacauan yang muncul dan terjadi. Nilai-nilai religius, sosiologis, antropologis dan filosofis justice melekat pada lembaga tersebut. Tugas, fungsi dan kewajiban yang dilakukan seolah tidak berdampak pada kehidupan masyarakat warga bangsa. Janji-janji yang pernah ditiupkan sendu kepada rakyat berubah menjadi badai topan. Stagnasi dan kegagalan lembaga legislatif mengawal kehidupan yang sejahtera damai dan tentram berubah menjadi utopis bahkan fatamorgana.
Muncul anekdot di ruang publik,” Mereka (DPR) sudah mewakil rakyat, mewakili punya mobil mewah, mewakili punya rumah bagai istana, mewakili liburan ke luar negeri dengan modus kunjungan kerja, bahkan mewakili punya istri tanpa akad”. Anekdot tersebut muncul genuine dari dialektika di ruang publik. Penggambaran tersebut nyata, tapi tidak satupun diantara wakil rakyat merasa gelisah atas keputusasaan serta ketidakpercayaan masyarakat yang tergambar dari anekdot tersebut.
Oleh karena itu, mereka yang memiliki legitimasi sebagai wakil rakyat harus meneguhkan komitmen spirit juang sebagai akal dan hati rakyat. Derita yang dialami dan dirasakan oleh rakyat, DPR harus memiliki kepekaan dan rasa peduli (sense of care) yang autentik dan original. Sehingga tujuan kemerdekaan semakin dekat dan membumi bersama kehidupan warga bangsa. Karena hakikat dan subtansinya mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Deretan Pemerhati Rakyat!
Oleh karena itu, mereka yang memiliki legitimasi sebagai wakil rakyat harus meneguhkan komitmen spirit juang sebagai akal dan hati rakyat. Derita yang dialami dan dirasakan oleh rakyat, DPR harus memiliki kepekaan dan rasa peduli (sense of care) yang autentik dan original. Sehingga tujuan kemerdekaan semakin dekat dan membumi bersama kehidupan warga bangsa. Karena hakikat dan subtansinya mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Deretan Pemerhati Rakyat!
0 Komentar