GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Diki Hermawan*
Berenang di Permukaan, Karakter Utama Kurikulum Merdeka Belajar
Kepiawaian Mas Menteri, Nadiem Makarim, diuji dalam bermanuver untuk menyelamatkan pendidikan Indonesia dari kerusakan yang lebih parah akibat pandemi. Kita perlu mengapresiasi kepedulian beliau, terhadap realita learning loss yang terjadi di lapangan akibat pembelajaran berbasis daring dan hibrida yang belum siap dilakukan secara serentak. Semoga itu dapat membuka mata Mas Menteri, tentang betapa bermasalahnya bila pendidikan negeri ini bergantung lebih banyak pada ICT, dalam keadaan terburu-buru. Juga tentunya tentang betapa timpangnya kualitas pendidikan di Indonesia akibat neoliberalisasi yang terjadi selama ini. Semoga, praktik neoliberalisasi itu tidak ditambah-tambahkan lagi.
Salah satu manuver Mas Menteri baru-baru ini adalah meluncurkan Kurikulum Merdeka Belajar. Kurikulum ini sebenarnya bukanlah sebuah kurikulum definitif yang diberlakukan serentak secara nasional. Kurikulum ini merupakan sebuah bentuk penanganan pandemi di bidang pendidikan. Kurikulum ini juga sebenarnya merupakan langkah untuk membawa kurikulum Prototipe menjadi sebuah kurikulum yang lebih definitif, sekalipun masih terkesan cek ombak.
Pada artikel ini, kita akan bahas lebih dalam tentang Kurikulum Merdeka Belajar. Bagaimana ini diterapkan dan apa indikator keberhasilan penerapannya. Kita juga akan lihat lebih jauh apa yang sebenarnya ada di bawah permukaan Kurikulum Merdeka Belajar.
Baca Juga: Mahasiswa PGSD Uhamka Adakah Kelas Inspirasi Mading
Karakter Utama Kurikulum Merdeka Belajar: Apresiasi, Pertanyaan, dan Kritik
Kemendikbudristek di laman resminya, manyatakan bahwa sifat utama dari Kurikulum Merdeka Belajar adalah fleksibel dan fokus pada materi-materi esensial. Lebih jauh ada tiga karakter utama dari Kurikulum yang akan berlaku hingga tahun 2024 ini.
- Pembelajaran berbasis proyek dengan fokus pada pengembangan soft skill dan karakter profil pelajar Pancasila;
- Fokus pada materi esensial sehingga seharusnya ada lebih banyak waktu yang dapat digunakan untuk memperdalam kompetensi literasi dan numerasi;
- Penerapan yang fleksibel, sehingga mendorong guru untuk mengimplementasikan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kondisi realita para siswa.
Ketiga karakter utama tersebut dalam perspektif pedagogi modern sangat meyakinkan dan patut untuk didukung. Kita perlu mengapresiasi kesungguhan kemendikbud untuk membawa pendidikan Indonesia pada level yang lebih tinggi dalam penerapan pendidikan modern di abad XXI sekalipun dengan banyak keterbatasan.
Baca Juga: Kuatkan Nasionalisme Pelajar Lewat Minimap Ragam Budaya
Hal positif dari penerapan kurikulum ini adalah tumbuhnya harapan bahwa sekolah menjadi sebuah public spaces, sebuah taman tempat tumbuh dan berkembangnya anak manusia. Apalagi bila manusia yang ingin ditumbuhkan itu adalah manusia-manusia Indonesia. Manusia versi kemendikbudristek, bukan versi Goenawan Moehammad tentunya, semoga.
Guru modern, memang secara definitif haruslah menguasi keterampilan pedagogis, yang didalamnya memuat keterampilan untuk membuat pembelajaran terdiferensiasi. Disertai dengan kemampuan menghelat pembelajaran berbasis proyek dan problem solving, dan melakukan literasi kritis dan numerasi.
Namun secara umum, terdapat beberapa pertanyaan dan kritik mendasar dari karakteristik Kurikulum Merdeka Belajar. Pertanyaan mendasar pertama yang penting untuk ditanyakan kepada kita semua adalah apakah dua tahun cukup, untuk sekadar memberikan pelatihan post-teaching kepada para guru, tentang tiga hal mendasar dari tiga karakter tersebut, profil pelajar pancasila, kompetensi literasi dan numerasi, dan pembelajaran terdiferensiasi? Terutama bagi para guru di sekolah-sekolah yang masih nyaman menggunakan satu metode delivery dan evaluasi pembelajaran yang sama untuk setiap kompetensi dan materi, yakni metode ceramah dan evaluasi berbasis tes.
Guru-guru bermental banking pedagogy ini adalah kendala terberat dari penerapan Kurikulum Merdeka Belajar yang harus diatasi oleh pemerintah bila ingin memenuhi indikator ketercapaian kurikulum ini pada tahun 2024. Untuk melakukan hal itu, tidak perlu khawatir, kami ada di pihak yang sama bila pemerintah ingin memberikan penyadaran kepada para insan pendidikan terkait pentingnya memberantas banking pedagogy di Indonesia.
Berikutnya adalah sebuah kritik tentang hambarnya muatan sejarah dari karakter kurikulum baru ini. Nama profil pelajar Pancasila memang manis didengar dan terkesan memiliki keterkaitan yang langsung dengan sejarah dan ideologi bangsa. Namun mari kita periksa lebih jauh, terdapat enam butir profil pelajar Pancasila: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.
Berikutnya adalah sebuah kritik tentang hambarnya muatan sejarah dari karakter kurikulum baru ini. Nama profil pelajar Pancasila memang manis didengar dan terkesan memiliki keterkaitan yang langsung dengan sejarah dan ideologi bangsa. Namun mari kita periksa lebih jauh, terdapat enam butir profil pelajar Pancasila: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.
Baca Juga: Unduh Materi PDF Kurikulum Merdeka
Dari enam dimensi tersebut, penulis menilai profil ideologi yang ingin dicapai memiliki pertalian yang tidak begitu erat dengan sejarah. Tidak kosong sama sekali, namun tidak menjadi bagian spesifik yang disebut secara tekstual bahwa profil tersebut hanya dapat dicapai jika para guru dan sekolah memiliki motivasi dan kemampuan yang cukup untuk mendidik anak-anak kita dengan menghubungan realitas yang ada di masa kini, dan menarik konteks serta hikmah yang terjadi dari realitas yang terjadi di masa lalu.
Jika sekolah masih tetap menjadi pabrik penghasil tenga kerja, dan kelas masih sekadar menjadi bilik produksi yang bekerja di atas filosofi positivisme ekstrem, niat baik ini tidak akan pernah tercapai. Karena pada hakikatnya profil pelajar pancasila yang dicita-citakan haruslah dibangun pada suatu pendidikan kontekstual. Pendidikan yang berdiri di atas filosofis sosio-konstruktivisme dan berproses secara modern, kreatif, dan terkoneksi langsung dengan berbagai isu-isu real di kehidupan. Sebagai contoh, isu-isu politik, sejarah, demokrasi, kekuasaan, konflik, dan agama. (Bersambung).
Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP UHAMKA Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP UHAMKA. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.
0 Komentar