GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C).*
Fleksibilitas Guru Menerapkan Pembelajaran Terdiferensiasi
Kita sudah sampai di pembahasan paling teknis dari operasi membedah kurikulum Merdeka Belajar. Pada artikel sebelumnya kita membedah dengan kritis bagaimana rencana pemerintah menerapkan project based learning, yang ternyata masih terlalu dangkal. Tidak dimungkiri memang, jika perubahan radikal dipercepat masih cukup banyak masalah sistemik dalam pendidikan kita. Terutama pada aspek peningkatan kualitas kompetensi pedagogik dan profesionalisme guru.
Pada bagian ini, kita membedah bagian lain dari rencana pemerintah yang ingin menerapkan tren lain dari modern pedagogy yang bernama Pembelajaran Terdiferensiasi atau bahasa ilmiahnya disebut personalized learning. Benda apa lagi ini? Dan bagaimana para guru menerapkan pembelajaran terdiferensiasi ini secara aktual di kelas? Kita bedah lebih jauh.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar (Bagian 1)
Konsep Sebenarnya Personalized Learning
Kalau kita sudah berencana menerapkan personalized learning (PL), berarti seharusnya kita siap melakukan redefinisi pendidikan. Minimal memikirkan ulang (rethinking) pardigma pendidikan. PL hadir tidak dari sebuah konsep kosong. PL berdiri di atas sebuah teori yang menganggap pendidikan sudah harus bergeser, menyesuaikan dengan dinamika teknologi dan sosial.
Sebelum memahami PL, kita mesti berani terlebih dahulu mengucapkan rethinking the education, sebagaimana dirumuskan oleh Tapscott and Williams, bawha pendidikan selama beberapa dekade kebelakang bergantung pada bentuk pertemuan tatap muka langsung yang formal di sekolah. Menerapkan PL berarti mesti berani merumuskan konsep pendidikan baru, kira-kira akan berbentuk seperti berikut ini:
- Proses belajar akan bergeser menjadi lebih informal, tidak lagi formal di sekolah. Pedagogy modern mengusung paradigma pendidikan yang mendorong siswa untuk melakukan proses belajar di luar sekolah. Seperti di rumah, dari interaksi sosial yang mereka alami sehari-hari, ataupun melalui proyek kolaborasi yang didesain sedemikian rupa di luar jam sekolah (Marsick and Watkins, 2001);
- Proses belajar akan menggunakan dan memerlukan dukungan perlengkapan ICT yang memadai. Hal ini perlu, agar semua informasi yang dibutuhkan dapat tersedia dengan lengkap dan pertukaran informasi yang diperlukan dapat terjadi dengan cepat dan lancar. Sehingga proses belajar tidak lagi menjadi dimensi sempit, melainkan dapat meluas secara global. (Puentedura, 2003; Heggestuen, 2013);
- Proses belajar akan menjadi sebuah proses sosial. Kehadiran sosial media akan mendorong siswa dan guru untuk menggunakan internet untuk melakukan cocreation dan bertukar pengetahuan, bahkan membangun sebuah komunitas belajar yang kolaboratif meskipun tidak berada pada dimensi waktu dan tempat yang sama (Brown and Adler, 2008).
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar (Bagian 2)
Apabila kita belum berani rethinking the education, penerapan PL tidak akan dapat dilakukan dengan maksimal. Karena jelas, berani memikirkan bahkan merumuskan ulang konsep pendidikan, adalah modal awal menerapkan pedagogi modern. Termasuk Project Based Learning dan Personalized Learning, yang keduanya direncanakan pemerintah menjadi bagian struktural dari Kurikulum Merdeka Belajar.
Langkah Awal Menerapkan Personalized Learning
Personalized learning berdiri di atas falsafah mendasar pedagogi abad 21, yakni socio-constructivism, sebuah falsafah pendidikan yang menghamba pada siswa. Falsafah socio-construktivism menyatakan dengan jelas bahwa pengetahuan seharusnya tumbuh secara organik pada diri siswa oleh dirinya sendiri melalui interaksi sosialnya yang nyata.
Apabila dibedah, memahami PL harus dilakukan pada dua dimensi (Philipp Melzer, 2019):
- Siapa yang bertanggungjawab ketika melakukan “personalisasi”, guru, sistem pembelajaran, atau para siswanya itu sendiri?;
- Apa yang harus dipersonalisasikan, metode pembelajaran atau konten pembelajaran?
Ingat, PL ada dalam konteks socio-constructivism, untuk itu yang dipersonalisasi haruslah merujuk pada keberagaman personality setiap siswa. Sekolah lah yang menjadi pihak yang bertanggung jawab melakukan penelusuran kepribadian (tracing personality trait) setiap siswanya. Sehingga setiap siswa dapat memahami dirinya sendiri dengan baik. Lalu data kepribadian siswa tersebut mesti diolah dan dikelompokkan sesuai dengan sebarannya. Hingga akhirnya data kepribadian siswa yang sudah diolah tersebut harus digunakan oleh guru untuk melakukan personalisasi skenario, lingkungan, dan metode pembelajaran.
Baca: Mengenal Lebih Dekat Kurikulum Merdeka Belajar (Bagian 3)
Lantas apa saja dari personal trait siswa yang mesti ditelusuri dan dikelola? Melzer merangkum, setidaknya terdapat empat faktor: personality types, learning style, learning speed and cognitive power. Personality types (tipe kepribadian) dapat dilakukan menggunakan beragam rujukan. Dapat menggunakan pengelompokan sederhana yang dilakukan Jung dengan membagi personality types menjadi intovert, ekstrovert, dan ambivert. Pengelompokan tipe kepribadian dapat juga dilakukan menggunakan metode lain, seperti 16 personalities atau 5 Big Personalities. Untuk melakukan penelurusan itu, peran guru BK sangat penting, bahkan akan lebih baik apabila sekolah memiliki atau bekerjasama dengan lembaga psikologi untuk mengurus penelusuran kepribadian ini, agar datanya lebih valid.
Selanjutnya, yang mesti dipersonalisasikan adalah learning style atau gaya belajar. Kita dapat mendefinisikan learning gaya belajar dengan cara efektif yang digunakan oleh seorang siswa ketika mempelejari pengetahuan baru, atau bisa juga sebagai kecenderungan cara belajar yang nyaman digunakan dan disukai oleh seorang siswa.
Banyak rujukan yang dapat kita pelajari tentang jenis-jenis gaya belajar. Namun, kami merekomendasikan klasifikasi gaya belajar yang sederhana, VARKing: Visual, Auditory, Reading/Writing, and Kinestetic learning (Fleming and Baume, 2006). Tipe siswa pembelajar visual nyaman apabila belajar melalui peta konsep yang rapi dan berwarna, gambar-gambar atau grafik yang terorganisir, atau video. Tipe siswa pembelajar auditori nyaman apabila belajar melalui mendengar dan berbicara, mereka nyaman mendengar cerita, bercerita, dan berdiskusi dalam pembelajaran dan memerlukan pengulangan dalam menyerap pengetahuan baru.
Baca Juga: Apa Itu Polysynchronous Learning, Student Centered Learning, dan Personalized Learning?
Tipe siswa pembelajar reading/writing jelas akan nyaman mempelajari pengetahuan baru dengan cara membaca dan membuat catatan, mereka nyaman dan lihai dalam merangkum isi bacaan dan mengorganisir catatan. Tipe siswa pembelajar kinestetik akan nyaman mempelajari pengetahuan baru melalui praktik atau aktivitas langsung yang melibatkan gerak dan sentuhan fisik, mereka cenderung aktif dan tidak bisa diam dalam mempelajari pengetahuan baru.
Kalau kita sebagai guru sering kali merasa kesal dengan kelakuan anak-anak kita yang terlalu aktif atau bahkan terlalu pasif atau menjadi pembuat masalah. Coba renungkan, bisa jadi itu karena gaya belajar siswa tersebut tidak cocok dengan gaya mengajar kita. Lantas kalau sudah tidak cocok begitu, apakah siswa itu yang salah? Siapa yang harus beradaptasi? Kalau kita memilih, diri kita sendiri sebagai guru lah yang harus beradaptasi, anda berarti sudah selangkah lebih dekat dengan personalized learning. Kalau sebaliknya, berarti anda masih guru dengan paradigma pedagogi tradisional yang sudah ketinggalan jaman.
Selanjutnya, learning speed and cognitive power atau kecepatan belajar dan daya kognitif siswa. Untuk memahami dua hal ini mesti dilakukan sinkronisasi dua metode, yakni tes IQ dan penelusuran kecenderungan multiple intellegences siswa. Tentu siswa yang memiliki IQ di atas rata-rata akan memiliki kecepatan belajar dan daya kognitif yang baik, sehingga mereka mampu mempelajari pengetahuan dengan lebih cepat, lebih dalam, dan lebih banyak. Namun, penting juga untuk melihat bagaimana kecenderungan kecerdasan majemuk siswa yang meliputi kecerdasan linguistik, interpersonal, intrapersonal, logika/matematika, spasial, musikal, naturalis, kinestetis, dan filosofis. Mayoritas, siswa hanya memiliki dua kecerdasan majemuk dominan.
Kalau kita sebagai guru sering kali merasa kesal dengan kelakuan anak-anak kita yang terlalu aktif atau bahkan terlalu pasif atau menjadi pembuat masalah. Coba renungkan, bisa jadi itu karena gaya belajar siswa tersebut tidak cocok dengan gaya mengajar kita. Lantas kalau sudah tidak cocok begitu, apakah siswa itu yang salah? Siapa yang harus beradaptasi? Kalau kita memilih, diri kita sendiri sebagai guru lah yang harus beradaptasi, anda berarti sudah selangkah lebih dekat dengan personalized learning. Kalau sebaliknya, berarti anda masih guru dengan paradigma pedagogi tradisional yang sudah ketinggalan jaman.
Selanjutnya, learning speed and cognitive power atau kecepatan belajar dan daya kognitif siswa. Untuk memahami dua hal ini mesti dilakukan sinkronisasi dua metode, yakni tes IQ dan penelusuran kecenderungan multiple intellegences siswa. Tentu siswa yang memiliki IQ di atas rata-rata akan memiliki kecepatan belajar dan daya kognitif yang baik, sehingga mereka mampu mempelajari pengetahuan dengan lebih cepat, lebih dalam, dan lebih banyak. Namun, penting juga untuk melihat bagaimana kecenderungan kecerdasan majemuk siswa yang meliputi kecerdasan linguistik, interpersonal, intrapersonal, logika/matematika, spasial, musikal, naturalis, kinestetis, dan filosofis. Mayoritas, siswa hanya memiliki dua kecerdasan majemuk dominan.
Baca Juga: Mendikbudristek Canangkan Akselerasi di Sektor Pendidikan, Tapi...
Sekolah seharusnya tidak menjadikan siswa berkompetisi, karena selamanya siswa dengan kecepatan belajar yang rendah tidak akan bisa menjadi pemenang. Sekolah harusnya mendorong dirinya sendiri menjadi lingkungan belajar yang dapat mengeksplorasi kecerdasan dominan dari setiap siswa. Sehingga mereka dapat tumbuh maksimal sesuai menjadi diri mereka sendiri.
Rencana Pemerintah: Fleksibel atau Lepas Tangan?
Sebenarnya membahas bagaimana rencana pemerintah dalam penerapan personalized learning di kurikulum itu membuat kita menghela nafas panjang. Lega tapi juga jengkel. Lega karena akhirnya pemerintah berniat menerapkan modern pedagogy di kurikulum. Jengkel karena seluruh instruksi teknis penerapan PL dikembalikan kepada fleksibilitas guru. Hal ini hanya menguntungkan bagi guru yang telah terinstal paradigma pedagogi modern di kepalanya. Realitasnya, di sekolah publik komposisi guru berparadigma pedagogi modern masihlah minoritas. Sedikit yang masih teguh karena kelelahan menjadi minoritas menerapkan modern pedagogi di sekolah publik yang didominasi guru-guru bermental banking pedagogy.
Pemerintah harus lebih banyak bertindak untuk meningkatkan kualitas kompetensi pedagogi dan profesional para guru melalui berbagai program post-training. Sehingga para guru yang sudah mengajar di sekolah tetap dapat terus belajar dan berkembang.
Baca Juga: Kuatkan Nasionalisme Pelajar Lewat Minimap Ragam Budaya
Setidaknya kabar baik bagi para guru minoritas yang berparadigma pedagogi modern, anda bisa sedikit bernafas lega. Karena pemerintah telah melegalkan upaya anda untuk mendesain metode, skenario, konten kompetensi, hingga asesmen dengan fleksibel. Pastikan kita menggunakan fleksibilitas tersebut untuk menciptakan pembelajaran yang terpersonalisasi kepada siswa. Sehingga siswa tidak perlu khawatir belajar dengan kompetisi dan kompetensi yang standar. Dan anda tidak perlu khawatir dan ketakutan mengejar materi dan kompetensi. Mengajarlah sesuai dengan kapasitas tipe kepribadian, gaya belajar, dan kecepatan belajar serta daya kognitif siswa.
Biodata: Diki Hermawan, S.Pd., M.Ed.(C). Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP UHAMKA, Jakarta. Lulusan terbaik FKIP UHAMKA Tahun 2018. Kader PK IMM FKIP UHAMKA. Master Candidate of Education Science at Institute Psychology and Education, Kazan Federal University, Republic Tatarstan, Russian Federation. Saat ini Ketua PCIM Rusia 2019-2022.
0 Komentar