GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh: Ahmad Soleh, pencinta buku dan pengelola blog Resensia.my.id
Menulis cerita fiksi memang gampang-gampang susah. Saat inspirasi mengalir dengan derasnya, maka menulis cerita fiksi bisa lancar jaya. Bebas hambatan. Namun, di saat buntu atau menghadapi kendala-kendala lainnya, upaya menulis cerita pun akan berujung pada “wacana” saja. Ada yang berpendapat, hal semacam itu tidak mengapa, sebab banyak pengalaman menulis yang juga menunjukkan gejala demikian. Ini tak bisa disalahkan. Di sisi lain, ada juga yang menganggap kebuntuan dalam menulis cerita merupakan tantangan yang mesti ditaklukkan. Ini pun sah-sah saja.
Kendati demikian, hal paling mendasar dari menulis cerita fiksi agar lancar dan bisa selesai dengan hasil yang bisa dikatakan bagus ialah dengan melakukan persiapan yang baik. Ibarat perang, tentu sebelum maju ke medan laga kita mesti mempersiapkan berbagai hal, mulai dari alat-alat perang, baju pelindung, senjata pamungkas, hingga mental baja yang tak gentar melihat musuh yang bisa saja membunuh kita. Begitu pulalah menulis cerita fiksi, kita tidak bisa mengawang-awang, penulis yang baik mesti mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik.
Apa Itu Cerita Fiksi?
Oke, sebelum terlalu jauh membahas hal yang perlu disiapkan, kita mesti mengenal dengan baik apa yang mau kita buat itu. Ya, kita mesti tahu apa itu cerita fiksi. Meskipun sebetulnya gampang sekali mencari informasi tentang ini. Tinggal tik kata kunci “cerita fiksi adalah” di kolom pencarian Google, semua informasi terkait hal itu akan muncul. Namun, tentu tak ada salahnya, bukan, bila penulis bahas juga di dalam tulisan ini.Cerita fiksi umumnya dimaknai sebagai karangan nonilmiah yang berisi imajinasi atau khayalan si pengarang. Cerita fiksi memang erat kaitannya dengan karya yang bersifat imajinatif, khayalan, atau bukan kisah nyata. Sebagaimana Nurgiyantoro (2005: 2) menyebutkan, fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia.
Alternbernd dan Lewis (1966: 14) berpendapat bahwa fiksi adalah karangan yang menyajikan permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup, dan kehidupan. Artinya, karya fiksi memang merupakan cerita rekaan, tetapi cerita fiksi bisa jadi diinspirasi atau diilhami dari kehidupan nyata atau pengalaman seseorang. Seorang pengarang biasanya menggunakan cerita fiksi untuk mengungkapkan kegelisahan dalam merespons kenyataan dan kondisi sosial tertentu. Jadi, apa yang disebut fiksi sebagai khayalan, sebetulnya bukanlah sesuatu yang murni berdasarkan khayalan.
Sebab, cerita fiksi juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, kondisi masyarakat, kondisi sosial, budaya, dan politik di sekitar kehidupan pengarang. Selain itu juga dipengaruhi oleh latar belakang pribadi si pengarang. Sebab itulah karya fiksi terkadang juga memberikan wawasan dan rangkaian historis tentang suatu kejadian, tempat, fenomena sosial, kebudayaan, dan sebagainya. Nah, kita yang mau menulis cerita fiksi mau tidak mau tak bisa terlepas dari kehidupan yang ada di sekitar kita. Dan sebetulnya itulah modal awalnya. Kita memiliki kepekaan dalam menangkap hal-hal menarik dalam hidup untuk diceritakan menjadi karya fiksi.
Lalu, Apa Saja yang Mesti Disiapkan?
Para pembelajar sekalian, menulis cerita fiksi tidak bisa dilakukan hanya dengan melamun atau membayangkan cerita. Artinya, kita mesti punya amunisi sebagai bahan dan landasan dalam mengarang cerita yang baik dan diharapkan nantinya bisa diterima oleh pembaca atau masyarakat. Andrea Hirata, penulis novel best seller Laskar Pelangi, misalnya, pernah mengungkapkan bahwa ia melakukan riset yang cukup lama untuk menghasilkan satu rangkaian cerita novel yang utuh.Selain itu, Boim Lebon, seorang komedian, produser, dan penulis cerita fiksi humor, menceritakan bahwa ketika ia menulis cerita, ia kerap mengambil kejadian-kejadian lucu dari kehidupan sehari-hari. Bahkan, ia juga kerap terinspirasi oleh orang-orang di sekitarnya yang kemudian ia jadikan karakter di dalam cerita fiksinya. Kebanyakan ceritanya juga terinspirasi dari pengalaman pribadi.
Tentu saja, kita bukanlah Andrea Hirata, Boim Lebon, Tere Liye, atau penulis terkenal lainnya. Oleh sebabnya kita mesti banyak belajar dari karya-karya mereka. Untuk itulah penulis mencoba merangkum lima hal yang perlu kita siapkan ketika mau menulis cerita fiksi. Utamanya supaya cerita fiksi yang kita buat dapat menjadi cerita yang menarik dan diterima pembaca. Apa saja kelima persiapan itu? Simak baik-baik ya, kawan!
Pertama, kita harus menghadirkan ide segar. Menggali ide cerita yang belum pernah atau berbeda dengan cerita-cerita yang sudah ada. Meskipun hal ini cukup sulit, bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Jangan lupa pelajari bagaimana struktur cerita yang menarik dan membuat pembaca penasaran. Hindari cerita-cerita membosankan yang bikin pembaca malas. Kebanyakan sinetron ceritanya mudah ditebak karena struktur cerita yang digunakan berulang-ulang. Masyarakat dengan mudah menebak apa yang akan terjadi. Logika dalam sinetron sudah terlalu biasa. Sehingga, kita jangan membuat cerita fiksi seperti sinetron. Kita perlu menyuguhkan sesuatu yang berbeda.
Kedua, lakukanlah riset ringan berupa pengamatan atau observasi mengenai tokoh, latar tempat, situasi, hingga konflik. Ya, riset bisa kita lakukan di mana saja. Bisa dalam kehidupan sehari-hari kita, atau menyengaja pergi ke suatu tempat. Semisal Andrea Hirata yang melakukan riset di tempat yang akan ia jadikan latar dalam novelnya. Ia juga menemui tokoh-tokoh yang kemudian menjadi karakter dalam ceritanya. Tentu saja, hasil riset tidak serta merta kita pakai seluruhnya. Kita dapat melakukan modifikasi, rekayasa, dan sebagainya yang dianggap pas dan akan membuat cerita jadi lebih baik.
Ketiga, tentukan setting atau latar tempat. Latar tempat yang pas akan mendukung jalannya cerita fiksi yang kita tulis. Dan jangan lupa, dalam menulis cerita fiksi, latar tempat boleh disamarkan misalnya dengan nama yang kita karang sendiri. Namun, boleh juga menggunakan nama tempat-tempat yang benar-benar ada, bahkan populer di masyarakat. Hal ini perlu pertimbangan, misalnya, mengangkat budaya pada suatu daerah maka latar tempat kita harus berkaitan dengan cerita tersebut.
Keempat, ciptakan tokoh atau karakter yang kuat. Karakter yang kuat bisa digambarkan secara fisik maupun dimunculkan sisi emosionalnya. Untuk membuat cerita menarik dan tidak monoton, kita dapat menghadirkan tokoh utama dan tokoh pembantu yang keduanya saling berkaitan satu sama lain dan mampu membangun rangkaian cerita menjadi lebih baik.
Kelima, hal terakhir yang perlu kita persiapkan adalah bagaimana akhir cerita dari cerita fiksi yang mau kita tulis. Nah, di sini kita juga dapat membuat rangkaian penuh dari keseluruhan cerita, yaitu kerangka atau outline cerita. Dalam teori kepenulisan sastra biasa disebut plotting. Bagaimana kita membuat plot dari satu babak ke babak berikutnya, dari satu konflik ke konflik berikutnya hingga ke penyelesaiannya. Nah, di sini kita dapat menyusun bagaimana cerita dibuat dari awal sampai akhir. Jadi, ketika mulai menulis cerita fiksi, kita sudah mendapat garis-garis batasnya secara jelas. Tidak perlu melebar ke mana-mana.
***
Sebagai penikmat cerita fiksi, kita pasti menginginkan cerita yang tidak sekadar berkisah. Melainkan juga ada pesan-pesan penting yang disampaikan. Kendatipun sederhana, pesan amat penting agar cerita kita dapat berbekas di benak dan hati. Sebab itulah, sebagai penulis kita mesti berusaha memberikan “sesuatu” itu dengan baik dan secukupnya. Sebab, bila berlebihan tentu akan membuat pembaca mual bahkan muntah.
Sebagai penutup, penulis mengutip kalimat yang menegaskan bagaimana seharusnya seorang penulis cerita fiksi yang dikutip dari blog Tempo Institute: “Seorang penulis fiksi ditantang untuk menghadirkan sebuah alur cerita yang ciamik, agar pembaca ‘tenggelam’ ke dalamnya.”
0 Komentar