Paradoks Glorifikasi dan Kesederhanaan




GHIRAHBELAJAR.COM - Oleh: Laskar Badar Muhammad*


“Tempat paling berbahaya adalah tempat yang paling aman.”

Kalimat di atas merupakan contoh sederhana untuk mengerti bagaimana atau apa itu paradoks. Secara deduktif, paradoks dapat diartikan sebagai dua kondisi yang saling bertentangan namun menyimpulkan kebenaran. Jika diartikan dalam sebuah kalimat atau pernyataan maka premis pertama bertentangan dengan premis kedua atau sebaliknya. Yang mana kesimpulan di antara dua premis yang bertentangan tersebut mengandung sebuah kebenaran.

Dalam kajian ilmu filsafat setidaknya paradoks terbagi menjadi lima macam. Dari lima paradoks tersebut terdapat substansi yang sama yaitu sebuah pertentangan yang mengandung kebenaran di dalamnya. Terkadang dalam ranah teologis paradoks seringkali digunakan oleh orang-orang penganut rasionalisme untuk mengkritisi eksistensi tuhan. Misalnya Omnipotence Paradox yang di dalamnya mempertanyakan kemahakuasaan tuhan. Namun tulisan ini bukan hendak membahas perdebatan itu.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari bisa jadi seseorang tanpa disadari melakukan atau menyatakan sesuatu yang paradoks. Misalnya dalam dunia sepak bola. Seringkali kita mendengar sebuah pernyataan dari para pundit bola, “pertahanan yang terbaik adalah menyerang.” Meskipun bertentangan namun pernyataan tersebut mengandung sebuah kebenaran. Misalnya lagi jika kita pernah mendengar pernyataan, “orang itu meskipun kaya tapi dia sederhana.”

Memang dalam sisi tertentu terkadang kebenaran atas kesimpulan paradoks bersifat probabilitas. Artinya benar atau tidaknya kesimpulan paradoks tersebut tergantung bagaimana fakta berbicara. Namun perlu diingat bahwa sejarah keilmuan telah mencatat paradoks berguna untuk melatih berpikir kritis demi terungkapnya kebenaran yang sebenar-benarnya. Dengan kata lain paradoks adalah seni dalam menyampaikan atau menyimpulkan sebuah kebenaran.

Paradoks kesederhanaan

Baru-baru ini Indonesia kedatangan tamu agung. Tamu itu adalah Yang Teramat Mulia Paus Franciscus. Bahkan pra-kedatangan Paus ke Indonesia saja media massa Indonesia sudah beramai-ramai membuat berbagai macam berita maupun opini yang isinya bersuka cita dan menyambut baik kedatangan Paus.

Selama berada di Indonesia, Paus dengan beberapa agendanya seolah menyihir segenap masyarakat Indonesia. Efek sihir itu setidaknya bisa diketahui ketika kementrian agama menghimbau agar azan Maghrib di televisi seluruh Indonesia diganti dengan running text. Itu dikarenakan bertepatan dengan Misa Agung di stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.

Efek sihir itu juga menimpa kalangan analisis dan cendekiawan. Mereka seperti sibuk memberikan puja-puji setinggi langit atas kedatangan Paus tersebut. Kedatangan Paus ke Indonesia seperti menebar berkah kepada seluruh bangsa Indonesia.

Tak terkecuali salah satu yang menjadi headline adalah soal kesederhanaan Paus. Tak henti-hentinya kesederhanaan Paus ini dibicarakan oleh para analisis dan cendekiawan baik itu berupa tulisan maupun acara talk show di televisi. Seolah-olah memuji betapa sederhananya Paus Franciscus adalah respon yang paling tepat dan tak akan ada, atau tak boleh, atau tak pantas menentang pujian itu.

Di tengah mayoritas pendapat mainstream itu rupanya terdapat pendapat anti-mainstream yang dikemukakan oleh A.S. Laksana. Dalam tulisannya A.S. Laksana menjelaskan ada paradoks kesederhanaan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan kedatangan Paus. Bisa jadi pernyataan, “meskipun seorang Paus tapi dia sangat sederhana,” ini benar. Tapi ada paradoks dalam pernyataan itu.

Paradoks itu diungkapkan oleh A.S. Laksana dalam tulisannya yang membahas soal penerbangan Paus. Tulisan itu menanggapi berita berjudul “Teladan Kesederhanaan” yang di dalamnya menceritakan kesederhanaan Paus. Hal itu tercermin dari pesawat yang digunakan oleh Paus dan rombongannya. Meskipun menggunakan pesawat komersial namun penerbangan itu disewa khusus oleh Paus dan rombongannya. Dengan kata lain penerbangan itu tetap istimewa dan tidak sama dengan penerbangan reguler biasa. Dari situlah bisa dipahami mengapa A.S. Laksana memberi judul pada tulisannya “Indonesia: Sebuah Bangsa yang Gila pada Kata Sederhana.”

Tentu saja bukan tidak boleh kita memberikan pujian kepada Paus. Namun pujian buta pada seorang tokoh atau fenomena tertentu dapat mematikan daya kritis dan menempatkan diri pada lubang kekultusan. Yang terjadi setelahnya adalah fanatisme yang itu merupakan pangkal dari kebodohan berpikir. Sudah banyak contohnya, apalagi di Indonesia. Mustinya Indonesia mulai belajar agar tak lagi tertipu oleh figur yang menghiasi dirinya dengan kata sederhana, merakyat, wong cilik dan sebagainya. Maka paradoks diperlukan sebagai salah satu sarana untuk belajar.

Paradoks glorifikasi

Tidak berbeda jauh, praktik yang sama juga sering dijumpai dalam persyarikatan Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang besar dan kaya, bukan tidak mungkin yang demikian itu menciptakan sihir bagi para warga persyarikatan. Dengan pola yang hampir sama, warga persyarikatan seolah tersihir dengan kebesaran organisasi Muhammadiyah. Efek sihir itu lambat laun mulai bergeser ke arah kultus individu yaitu kepada para pimpinan pusat Muhammadiyah. Sehingga pernyataan apapun yang keluar dari mimbar pimpinan maka akan diterima bulat-bulat tanpa ada yang boleh menyelisihinya.

Saat daya kritis itu mulai menipis di kalangan kader-kader Muhammadiyah maka yang ada dan terjadi setelahnya hanyalah sebaliknya yaitu puja-puji buta atau glorifikasi. Padahal berpikir kritis adalah indikator dari kemajuan yang mana itu adalah jargon agung bagi orang Muhammadiyah. Jika yang terjadi adalah menjunjung tinggi glorifikasi dan mengubur dalam-dalam kritisisme, maka kemajuan itu hanyalah semu dan tidak akan pernah sampai pada ranah kualitatif.

Jika diamati lebih dalam, glorifikasi itu nyata-nyata mengandung paradoks. Saat hampir semua warga Muhammadiyah memuji organisasinya dengan berbagai macam pujian setinggi langit, di saat yang bersamaan masih banyak guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah “terjajah” oleh kata-kata “ikhlas ber-Muhammadiyah.” Masih banyak para pengasuh panti-panti asuhan Muhammadiyah-'Aisyiyah yang nasibnya sama sekali tak mencerminkan glorifikasi itu. Penulis adalah pengasuh panti asuhan 'Aisyiyah, penulis sangat merasakan disparitas antara glorifikasi dan fakta lapangan yang begitu menganga tersebut.

Disparitas yang terjadi itu kemudian seperti memisahkan antara dunia elit dan dunia akar rumput. Seolah dua entitas itu sama sekali tak ada kaitan dan hubungannya. Yang di atas tetap mengerjakan kegiatan elitisnya sedang yang di bawah tetap dengan segala keprihatinannya. Keduanya seperti jalan sendiri-sendiri dan saling membelakangi.

Glorifikasi ini baiknya segera dikurangi syukur-syukur dihentikan. Lebih baik energi yang tadinya sibuk untuk menghadirkan puja-puji itu dialokasikan untuk fokus pada nasib guru-guru dan pengasuh-pengasuh di Muhammadiyah serta profesi-profesi lainnya yang masih minim perhatian dari pimpinan. Maka tak perlu lagi ada glorifikasi, jika kesejahteraan itu terpenuhi, itulah sejatinya keluhuran dan kemuliaan (glory) an sich. Begitu pula dengan apa yang disebut oleh A.S. Laksana soal kegilaan terhadap kata sederhana. Kegilaan itu juga perlu segera disudahi.

Jika tidak disudahi atau tak mau menyudahi maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua paradoks tersebut di atas memang sengaja diciptakan dan dipelihara untuk “menyihir?” Hati hati! Yang demikian itu bisa menjerumuskan kita pada sifat hipokrit yang mana menurut hadis Nabi SAW ciri-cirinya adalah apabila berkata berdusta, berjanji tapi mengingkari, dan suka berkhianat. Nauzubillah min dzalik.

Wallahu a'lam bis shawab. []


* Penulis adalah kader persyarikatan ber-NBM 1202 9817 1276981. Seorang pengasuh anak-anak yatim dan dhuafa dan menjabat sebagai anggota bidang tabligh IMM Komisariat Hajjah Nuriyah Shabran periode 2018-2019.

Posting Komentar

0 Komentar